Kamis, 04 November 2010

Tenun ikat Doyo khas Dayak, Kalimantan Timur

Rabu, 03 Maret 2010 09:22
Jakarta, VOI FITUR-Tenun ikat Doyo merupakan salah satu kerajinan khas Dayak Benuaq, suku Dayak yang tinggal di Tanjung Isuy, Kalimantan Timur. Tenun ikat Doyo terbuat dari serat Doyo yang ditenun menggunakan alat tenun tradisional dari kayu. Doyo merupakan tanaman yang menyerupai palem dan tumbuh subur di daerah Tanjung Isuy. Karena serat daunnya cukup kuat, warga Dayak Benuaq mengolah serat Doyo ini menjadi benang. Dengan menggunakan alat tenun tradisional, benang itu kemudian ditenun menjadi tenun ikat Doyo. Jamnah, salah seorang pengrajin tenun ikat Doyo dari Kalimantan Timur mengatakan untuk membuat selembar kain tenun ikat Doyo tidaklah mudah dan membutuhkan proses yang cukup panjang. Pertama, daun Doyo yang panjangnya mencapai satu hingga satu setengah meter terlebih dahulu dipotong dan direndam di dalam air bersih selama beberapa waktu.
Setelah daging daun Doyo itu hancur, barulah serat daunnya diambil dan dikeringkan. Setelah kering, barulah serat Doyo itu dipelintir menjadi benang kemudian ditenun dengan menggunakan alat tenun tradisional. Warga Dayak Benuaq di Tanjung Isuy menyebut alat tenun itu dengan nama Pemanyu. Satu persatu benang dari serta itu ditenun mengikuti motif tenun yang diinginkan.
Biasanya, motif ikat Doyo berbentuk bunga, daun, serta hewan yang hidup di alam sekitar Tanjung Isuy, “Jadi proses pembuatan tenun ikat Doyo ini khan dari serat daun Doyo, mirip seperti daun palem. Saya ndak bisa kalau bahasa ininya, yang jelas, kalau bahasa Dayak saya tau. Proses pembuatan tenunan ini lama banget sekitar 20 hari untuk satu tenunan. Tapi kalau kita bikin kecil-kecil ini, kita dapat banyak. Tapi kalau yang besar, 2 minggu, kita dapat 1.”

Untuk pewarnaan, tenun ikat Doyo menggunakan pewarna alami dari kulit pohon, tumbuhan, serta buah. Suku Dayak Benuaq mengolah kulit durian hingga menjadi warna kuning. Sementara untuk membuat warna hijau, mereka memanfaatkan zat hijau daun dari dedaunan yang tumbuh di sekitar Tanjung Isuy. Biasanya, tenunan kain Doyo memiliki tiga warna, antara lain merah, hitam, serta warna cokelat muda.
Namun menurut Jamnah sebagai warga asli Dayak Benuaq, khusus kain panjang ataupun baju yang dikenakan setiap hari, ia lebih memilih warna cerah seperti merah dan kuning, “Warna kegemaran orang Dayak itu merah atau kuning supaya kita tidak susah dicari. Baju juga paling banyak suka pakai merah. Seandainya kita sedang jalan-jalan bersama banyak orang, terus kita sudah saling mengenal. Oh, itu bajunya merah, itu bajunya kuning.”

Membuat tenun ikat Doyo merupakan salah satu aktifitas perempuan Dayak Benuaq ketika ada waktu senggang. Mereka menjadikan hasil tenun itu sebagai baju dan kain panjang atau tapeh. Di Tanjung Isuy, Tapeh biasanya dikenakan dalam berbagai upacara adat, antara lain upacara kematian, pengobatan, serta ketika ritual panen hasil bumi. Tenun ikat Doyo khas Dayak Benuaq juga dibuat sedemikian rupa menjadi beragam kerajinan, yaitu syal, hiasan dinding, dompet, tas, serta taplak meja.

Keistimewaan tenun ikat Doyo, kerajinan khas suku Dayak ini telah mampu menarik minat pembeli dari berbagai daerah, antara lain Jakarta, Bandung, serta Surabaya. Bahkan Jamnah, salah seorang pengrajin tenun ikat Doyo menceritakan produk yang ia hasilkan telah mampu mencapai pasar Internasional ke beberapa negara, salah satunya Brunei Darussalam. Meskipun sempat mengalami penurunan penjualan, Jamnah terus berusaha untuk meningkatkan kualitas produknya, “Kita ini sudah menjualnya ke mancanegara seperti Brunei Darussalam. Meskipun untuk sementara ini penjualan agak sepi, kita tidak diam. Kita berusaha untuk memproduksi tenun ikat Doyo supaya tidak luntur dan warnanya tidak berubah."

Ketika berkunjung ke Kalimantan Timur, Anda dapat membeli beragam kerajinan dari tenun ikat Doyo di beberapa tempat. Salah satunya, Anda dapat di toko souvenir yang ada di kota Samarinda. Untuk harganya, bervariasi, tergantung dari kerajinan apa yang Anda pilih. Hiasan dinding biasanya dijual dengan harga Rp. 85.000,- hingga Rp. 100.000,-. Sementara untuk syal berukuran pendek dijual dengan harga relatif murah, hanya Rp. 25.000,-. Ari-IKe/LPP RRI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar